RESENSI BUKU SEJARAH: RAS, KEKUASAAN DAN KEKERASAN KOLONIAL DI HINDIA BELANDA 1808-1830
RAS, KUASA, DAN KEKERASAN KOLONIAL DI HINDIA BELANDA 1808 - 1830

DETAIL BUKU
Penerbit: KPG (Keperpustakaan Populer Gramedia)
Penulis: Peter Carey dan Garish A.Noor
Tanggal Terbit: Cetakan pertama, Agustus 2022. Cetakan Kedua, Desember 2023.
ISBN: 987-602-481-656-8
Deskripsi Fisik
Halaman: 279
Ukuran: 15 × 23 cm
BAB 1. Mengapa Ras Penting : Perbedaan Rasial, Kapitalisme Penjajahan yang Rasis dan Perang Rasial di Asia Tenggara pada Abad Ke-19
"Malem telah tiba, namun kaum bar bar belum datang juga, Dan beberapa orang tiba dari perbatasan, dan mengatakan bahwa sudah tidak ada lagi kaum bar bar, Lalu akan bagaimanakah nasib kita kalau tidak ada kaum bar bar? Orang orang itu adalah semacam solusi"
-Constantine P.Cavafy,"Waiting for the Barbarians"
Kaum Barbar itu sendiri merupakan istilah untuk warga sebuah bangsa yang oleh sebagian pihak dinilai kurang beradab atau primitif (misalnya masyarakat kesukuan) istilah ini dapat juga digunakan untuk menyebut orang yang kasar, kejam, beringas, dan kurang peka menurut si pengguna sebutan.
Pada wilayah Asia Tenggara penyerbuan ataupun perang bukanlah hal asing lagi bagi wilayah ini. Sebab sejak abad ke-11 dan ke-12, beberapa kerajaan di Asia Tenggara telah di serang oleh para pemimpin dinasti Chola Tamil dari India Selatan terutama pada kekuasaan Rajendra Chola I (bertakhta 1014-1044). Akibat dari serangan ini, Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan Kerajaan Kadaram (Kedah) di Semenanjung Melayu menjadi lemah.
Pada 1293, Terjadi penyerangan di Kerajaan Singhasari (Jawa) namun penyerangan ini berakhir dengan kegagalan dan di pengujung kejadian ini munculah Kerajaan yang mendominasi atau menjadi penguasa di wilayah Jawa yaitu Kerajaan Majapahit.
Sejak abad ke-13 sampai ke-17 kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara saling berperang dan bertahan terhadap intervensi kekuasaan yang lebih besar dari luar daerah tersebut, Terlebih ketika Portugis dan Spanyol tiba, mereka langsung masuk ke sebuah percaturan negeri-negeri yang saling bertanding untuk menjadi adikuasa di daerah tersebut namun Portugis membuat pernyataan bahwa kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara tidak mudah untuk di kalahkan. Seperti Kerajaan Melaka pada tahun 1511 yang melawan 1.200 pasukan pimpinan Afonso de Albuquerque yang mencoba mengambil alih kota pelabuhan tersebut.
Kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda (bertakhta 1607-1636) tidak hanya melawan orang Portugis, yang sejak 1511 berkedudukan di Melaka, tetapi juga para penguasa bumiputra Asia Tenggara lainnya termasuk Deli (1612), Johor (1613), Pahang (1617) dan Kedah (1619-1620).
Sebuah fakta menarik bahwa ternyata orang orang Eropa tidak memiliki teknologi dan persenjataan canggih di banding dengan persenjataan orang Melaka yang kualitasnya sebagus persenjataan orang Jerman pada awal abad ke-16, namun pada abad ke-19 Eropa memiliki kemajuan dimana persenjataan dan teknologi menjadi lebih unggul di banding pada abad sebelumnya.
Di abad ke-19 perbedaan ras tidak menjadi masalah dan tidak begitu penting pada masa itu, Hal ini dapat terlihat di mana orang orang Inggris, Spanyol dan Belanda tidak segan untuk menikahi anggota komunitas lokal dan terciptalah populasi Mestizo (sebutan untuk orang-orang berdarah campuran Eropa dan Indian) seperti keturunan Inggris-India di Benggala, Indo-Eropa di Jawa atau mestizo Spanyol di Filipina. Pada periode ini penyebaran pengaruh Barat hampir menyeluruh ke Asia Tenggara, sebagian besar kerajaan dan negara merdeka di daerah tersebut jatuh ke tangan pemerintah penjajahan. Pada masa ini juga banyak daerah yang hancur oleh serentetan peperangan yang kejam, bukan hanya menelan banyak korban jiwa tetapi mengakibatkan kepunahan kedaulatan pemerintahan setempat.
Bab ini menjelaskan banyak sekali peperangan serta berbagai macam konflik konflik yang terjadi di Asia Eropa seperti konflik global pertama yang mengambil bentuk Perang Revolusi dan Perang Napoleon (1799-1815), Perang Jawa (1825-1830), Perang Inggris-Birma I (1824-1826), Perang Melawan Bajak Laut yang terjadi di sepanjang pantai Borneo (1840-an), Perang Inggris-Birma II dan III (1852-1853, 1885), Serbuan Prancis ke Cochinchina (1858), Perang Prancis-Siam (1893) dan Perang Filipina dan Amerika (1899-1902). Pertengahan abad ke-19 beberapa kekuatan di Asia Tenggara dapat mengambangkan atau atau mendapatkan persenjataan, mesin-mesin dan bahan-bahan peperangan yang sepadan dengan musuh-musuh Eropa mereka, tetapi karena sudah kehilangan daerah kekuasaan dan jaringan perdagangan yang penting untuk keselamatan ekonomi mereka, kemampuan bangsa bangsa di Asia Tenggara umtuk bersaing pun melemah. Musuh musuh yang liyan (Asia dan Afrika ) tidak di pandang setara dengan penjajah Eropa, tetapi lebih rendah karena ras dan budayanya. Oleh sebab itu, Perang kolonial di Asia Tenggara pada abad ke--19 bukan hanya perang antara para penguasa yang berseteru namun juga perang rasial. Bahkan pelembagaan rasisme pun diizinkan dan dipupuk oleh negara negara baru di Eropa. Yang unik pada kasus abad ke-19 adalah bahwa perbedaan kekuatan dan ekonomi yang terus tumbuh antara barat dan timur akhirnya memberikan keunggulan yang sangat besar bagi pihak barat. Perang kolonial tidak hanya merusak kehidupan politik dan ekonomi penduduk Nusantara, Perang juga mengubah bagaimana orang orang Nusantara memandang dunia.
BAB 2. Menuju Jurang Pemisah yang Menganga: Ras, Seks, Kekerasan dan Penjajahan di Hindia Belanda, dari Deandels (1880-11) hingga Perang Jawa (1825-30)
Bab ini membahas tentang masa peralihan yang penuh dengan kekerasan dalam sejarah modern Jawa. Dibandingkan dengan Inggris yang peralihan nya memakan waktu hampir seratus tahun, Jawa mengalami peralihan dalam waktu yang sangat singkat hanya sekitar empat setengah tahun. Pada masa ini Jawa berada pada zaman puncak penjajahan (High Colonial Period) Era dimana bangsa Eropa menganggap rendah semua orang yang berasal dari luar Benua Eropa, Orang orang Eropa memiliki sifat rasis dan memandang orang dari luar Eropa dengan rasa jijik dan hina. Namun masih ada beberapa orang Belanda yang merasa sensitif dengan perubahan tersebut, salah satunya Willem Van Hogendrop dia merupakan pengacara lulusan Leiden dan putra dari Gijsbert Karel seorang perancang Kerajaan Belanda, ia memberikan surat kepada ayahnya memperingati tentang bencana yang akan menimpa dan menjadi resiko terbesar umtuk pemerintahan Hindia Belanda di masa depan, bukan dari perang jawa ataupun jumlah musuh yang mereka hadapi tetapi dari semangat keseluruhan penduduk pulau Jawa dan juga daerah luar kekuasaan mereka seperti Borneo, Makassar dan di seluruh pulau sumatra. Serta seorang peramal Delphi yaitu Pangeran Hendrik Sang Pelaut (putra bungsu Putra Mahkota Belanda) memperingatkan ayahnya karena menurut dia tragedi pemberontakan Diponegoro merupakan sebuah aib yang di mana Diponegoro datang untuk berunding mengakhiri sebuah perang yang memakan banyak korban jiwa di kedua belah pihak serta mempercayai niat baik Belanda namun di tahan oleh petinggi Belanda, itu bisa saja mencoreng nama baik Belanda yang sejak dulu dikenal jujur dan menepati janji. Ia juga khawatir akan terlibat lagi dalam peperangan besar di pulau Jawa sebab tidak akan ada seorangpun prtinggi Indonesia yang bersedia menjalin hubungan dengan Belanda lagi.
Karena tuntunan orde politik baru banyak sekali aspek kehidupan yang terjamah pada orde ini. Seperti; hubungan seksual, aturan tata busana, potongan rambut, bahasa, sistem perbudakan, sistem hukum dan perubahan lain nya. Semua hal tersebut masih terbilang aneh bagi orang Jawa. Dan sebuah kenyataan pahit bagi Belanda dimana pada akhir abad ke-18 VOC yang dahulu sangat kuat dan perkasa runtuh akibat mengalami kerugian besar dari Perang laut Inggris-Belanda IV (1780-84) dan secara politik hancur karena Revolusi Prancis (1789-99), VOC dinyatakan bangkrut, aset asetnya yang di ambil alih oleh Republik Batavia yang baru saja berdiri. Sungguh memprihatinkan yang sebelumnya sangat percaya diri itu pada masa ini memohon mohon kepada pimpinan mereka yang orang jawa ataupun orang madura untuk di beri bantuan militer guna mempertahankan ibu kota daerah yang mereka jajah.
Terciptanya jalan raya pos (postweg) Trans-Jawa(1809-10) karena saat Marsekal Herman Willem Daendels tiba di Pulau Jawa, Pulau tersebut terkepung dengan ketat oleh Angkatan Laut Kerajaan Inggris sehingga tidak dapat melintasi pelabuhan pesisir Jawa, Namun Daendels berpikir panjang dan membuka jalur pegunungan baru dengan bubuk mesiu. Tidak hanya membangun jalan, kepemimpinan daendels sebagai gubernur ia juga meletakkan batu pertama dalam pemusatan administrasi Hindia Belanda dan selamanya mengubah hubungan antara pemerintah penjajahan di Batavia dan masyarakat Jawa. Era kepemerindahan Deandels mengubah dunia politik serta sosial di Jawa, sangat terlihat dengan jelas bahwa Jawa telah memasuki era baru, dampak yang Deandels berikan akan terus terasa bahkan saat ia sudah angkat kaki dari wilayah ini. Permasalahan bahasa menjadi topik yang hangat dalam dalam perbincangan dengan para bangsawan jawa pada masa pemerintahan Deandels.
Perjalanan Jawa melintasi sungai Rubico pun dipercepat pada masa pemerintahan peralihan Inggris (1811-16) ketika pulau ini didududki oleh pemerintahan Inggris-India yang di dukung oleh bayonet pasukan sipahi dan angkatan laut Inggris. Salah satu cita cita besar raffles adalah ia ingin menoren namanya di Jawa dan dai berhasil mencapai ambisinya melalui kekejaman yang tiada tara. Perjanjian yang di paksa oleh Raffles pada 1 Agustus 1812 setelah berakhirnya operasi militer inggris di jawa tengah bangian selatan melucuti kekuatan meiliter penguasa Jawa untuk selamanya. Perjanjian ini mengesahkan revolusi politik yang mengikuti guncangan dan kekaguman atas serangan Inggris.
Pada bab ini juga memaparkan bahwa pemerintahan Belanda kembali berdiri, tetapi bukan dari perwira VOC yang memakai rambut palsu dan mantel brokat melainkan birokrat sipil dari Eropa pasca Revolusi. Eksploitasi seksual perempuan jawa oleh orang Eropa yang berkuasa tampaknya menjadi suatu aspek lain lagi yang merendahkan mereka sebagai bangsa terjajah.
BAB 3. Orang Singapura Pertama; Raffles sebagai Manusia dan Mitos
Pada bab awal bab ini membahas tentang perbandingan Indonesia, Malaysia dan Singapura. Perbandingan antara Malaysia dan Indonesia dalam memberikan pengertian yang lebih mendalam, kedua negera ini memiliki populasi etnis Melayu yang secara umum sama mengingat bahwa sekitar tujuh persen (20 juta) penuduk Indonesia berasal dari rumpun Melayu. Indonesia membutuhkan waktu hampir lima dekade (1942-92) untuk kembali ke tingkat PDP (Produk Domestik Bruto) yang sama dengan tahun 1939, sedangkan dalam rentang wakti yang sama Malaysia berkembang menjadi empat kali lipat lebih kaya daripada Indonesia. Sementara Singapura (5,8 juta penduduk) hanyalah sebuah kotamadya yang berubah menjadi negara pulau (721km persegi). rapor sejarah Inggris di Indonesia pada masa pendudukan Inggris yang hanya seumur jagung (1811-1816) pada akhir perang Napoleon ketika raffles berkuasa sebagi letnan gubernur dan kemudian setelah Perang Dunia II juga sama sama menyedihkan. Dalam kedua kesempatan itu Inggris melakukan pembantaian yang sangat mengerikan.
Jika tidak ada Raffles untuk menjadi katalis, Singapura mungkin tidak akan pernah didirikan. Namun karakter publik Raffles yang otoriter yang di sebut orang Melayu sebagai sifat lancang terlihat saat ia menerbitkan dua jilid bukunya yang terkenal, Pada abad ke-19 pun sudah banyak ilmuwan Belanda yang mengeluh bahwa Raffles membajak begitu banyak penilitian pejabat VOC Belanda. Raffles selalu menyadari tentang betapa pentingnya membangun citra diri dan karena itu ia mempromosikan dirinya walau sering kali mengabaikan kepentingan orang lain. Sifat ini sangat jelas terlihat dalam cara ia memperlakukan bawahan. Pengalaman pahit di masa mudahnya di mana dia memiliki status sosial yang rendah dan menjadi sasaran cemohan serta kecemburuan sebab Raffles memiliki kedekatan dengan keluarga William Ramsay itu menjelaskan sisi kepribadiannya yang sangat tidak berperasaan dalam berhubungan dengan sesamanya manusia.
BAB 4. Kalian Telah Dipetakan: Peta Jawa Stamford Raffles dan Epistemelogi Sebuah Imperum
Banyak sebenarnya yang telah di tulis tentang Raffles dan adanya dua pandangan yang berseberangan tentang warisan nya membuktikan bahwa ia memiliki banyak pengagum tetapi juga banyak pencela dalam dunia akademik.dahulu pulau jawa tidak memiliki bagian bawah, atau lebih tepatnya jawa tidak memiliki garis pantai selatan. Peta Bertius tahun 1616 yang merupakan perbaikan dari peta 1606 dan jelas merupakan perbaikan dari peta Münster, Magini, dan Mercator abad ke 16 memberitahu kita sesuatu tentang derap maju pengetahuan dan epistemologi.
Raffles diberikan tanggung jawab atas Jawa dan wilayah sekitarnya dan selama periode inilah Raffles memperluas pemerintahan Inggris keseluruh pulau dan lebih jauh keseluruh Kepulauan itu. Harus di ingat bahwa pada 1811 Stamford Raffles adalah sosok yang relatif tidak dikenal di Inggris. Melihat kembali Raffles tentang Jawa yang disertakan dalam The History Of Java, pembaca modern pasti akan terkesan dengan hasil akhir kerja keras Raffles. Namun tetap harus di ingat bahwa ini adalah peta jajahan yang dibuat selama zaman imperium dan tujuannya adalah untuk mengumpulkan semua unit data yang di ketahui dan mengaturnya dalam satu himpunan pengetahuan dan kekuasaan yang komprehensif yang melayani tujuan kapitalisme kolonial yang rasialis.
BAB 5. Anti Imperialisme Abad ke 19: Sebuah Kritik Kontemporer Mengenai Serangan Inggris ke Jawa pada 1811
Banyak orang akrab dengan argumen yang menentang agresi militer dan intervensi asing yang mengarah pada kebijakan, yang dapat di gambarkan sebagai "neo-kolonial" baik dalam praktik maupun ambisi. Serangan ke Jawa terjadi pada saat masyarakat Inggris, yang susah lelah dengan konflik selama satu dekade melawan Napoleon dan sekutunya, sedang mencari suatu bentuk perdamaian abadi dalam hidup mereka. William Cobbett, selama karir nya sejumlah julukan seperti "Babi Hampshire" dan "landak" dia merupakan seorang penulis Tory yang berubah menjadi radikal dan salah seorang penulis pamflet terkenal pada masanya. Cobbett menganggap serangan ke Jawa sebuah Investasi yang mahal baik secara ekonomis maupun manusia, karena ia merasa bahwa Jawa tidak dapat dipertahankan tanpa kehadiran pasukan Inggris dalam jumlah besar dan bahwa orang Jawa tidak akan bisa dan tidak akan bersedia untuk diharapkan agar bisa memenuhi kebutuhan militer Inggris di masa depan.
Faktanya William Cobbett sendiri tidak pernah menginjakkan kakinya di Jawa perjalanannya hanya sebentar Amerika Utara dan Benua Eropa dan dia jelas tidak berhasil mengubah serangan ke Pulau itu pada 1811 dan penjajahan yang mengikutinya.
BAB 6. Konspirasi Sipahi di Jawa Tahun 1815
Pada pengujung periode kekuasaan Inggris di Jawa (1811-1816)- tepatnya bulan-bulan akhir 1815, sebuah konspirasi besar yang melibatkan kalangan garnisun sipahi di Jawa tengah bagian selatan telah terungkap, Sejarah keterlibatan pasukan sipahi di Jawa dan kondisi garnisun Inggris-India itu hanya dapat dipahami dengan menilik kembali serbuan Inggris pada 4 Agustus 1811. Reaksi orang Jawa terhadap pasukan sipahi selama periode awal ini tampaknya berbentuk ketakutan yang diwarnai dengan kekaguman atas keunggulan militer mereka. Maka dari itu, di dalam Babad Bedhah ing Ngayogyakarta (Sejarah Penyerangan ke Yogyakarta), sang penulis- Pangeran Panular (sekitar 1772-1826)-terus membahas penampilan pasukan sipahi berjanggut lebat yang mengesankan pada sebuah parade militer di luar kediaman Residen Yogyakarta setelah penobatan Sultan Ketiga pada hari Minggu, 21 Juni 1812.
Secara Politik , orang sipahi tidak pernah mendapat banyak dukungan dari Keraton Yogyakarta meskipun banyak tentara India telah melakukan desersi di ibu kota Sultan dan menikah dengan keluarga elite Yogyakarta.Namun, di Surakarta. Sunan segera menanggapi tawaran sipahi dengan meminjamkan gambar- gambar Hindu dari koleksi Keraton Surakarta dan dengan menyediakan dana untuk mendekorasi patung-patung dan menerangi ghat (dudukan) tempat patung-patung tersebut berdiri, Sepanjang penghujung tahun 1814 dan bulan awal tahun berikutnya, hubungan antara Sunan dan sipahi semakin akrab dengan pertemuan yang diadakan baik di keraton maupun di benteng. Namun, ini bukanlah akhir cerita tentang orang sipahi di Jawa tengah. Ironisnya, Batalion Sukarelawan Infanteri Ringan, yang diminta Raffles harus segera dikirim pulang ke Benggala, adalah salah satu resimen terakhir yang meninggalkan Jawa di akhir 1816 karena kurangnya pasukan yang tersedia untuk Inggris pada periode pemindahan kekuasaan ke tangan Belanda.
BAB 7. PENUTUP
Pada masa jaya penjajahan (1816-1942), Hindia Belanda lebih mirip Afrika Selatan yang menerapkan apartheid di bawah pimpinan Dr. Hendrik Verwoerd (menjabat 1958-66) daripada Holandia modern dengan ganja yang dilegalisasi, hak LGBTIQ+ yang terjamin, dan wali kota yang beragama islam. Memang, sejak dimulainya hingga akhir upaya penjajahan, seperti yang kita telah lihat dalam buku ini, ras adalah realitas yang menjadi ciri khas usaha penjajahan. Ingatlah bahwa ras, dan pemahaman tentang ras bukanlah sebuah kenyataan yang tidak berubah. Kemenangan Belanda di pengujung Perang Jawa menjadi pembuka babak penjajahan Belanda selama 112 tahun di mana sebuah sistem perbudakan secara de facto diterapkan melalui Sistem Tanam Paksa (1830-70) juga melalui sistem kendali masyarakat yang berdasarkan ras. abad ke-19 terus menghantui mereka yang hidup pada zaman itu Kejahatan yang dilakukan orang-orang terus hidup lama setelah mereka tiada, sementara kebaikan seringkali dikubur bersama tulang belulang mereka.
"Imperialisme meninggalkan benih-benih kebusukan yang harus kita cari dan hancurkan dengan bersih [tidak hanya] dari tanah air kita, namun juga dari akal budi dan pikiran kita"
XII MIPA 3